Universitas Islam Riau melalui Direktorat Dakwah Islam Kampus (DDIK) melaksanakan pengajian rutin bulanan untuk seluruh civitas akademik yang disampaikan oleh narasumber Ustadz Dr. H. Helmi Basri, Lc., MA sebagai Dosen Program Pascasarjana UIN Sultan Syarif Kasim Riau yang mengangkat tema “Mengambil Makna Kaidah Al Dhararu Yuzalu” yang digelar secara hybrid yaitu melalui streaming Zoom Meeting dan secara offline di Ruang Sidang Gedung Rektorat Universitas Islam Riau, pada hari jumat (11/11/2022).
Helmi Basri mengatakan makna lain dari kaidah Ad Dharar adalah melakukan suatu perbuatan yang dapat membahayakan orang lain ataupun membahayakan diri sendiri. Manusia berada dalam kemaslahatan untuk menghindari mudharat.
“Al Dharar adalah melakukan perbuatan yang dapat merusak orang lain sebagai balasan dari perbuatan yang sama. Sedangkan Yuzal artinya dicegah atau dihilangkan, Kerusakan harus kita singkirkan dari kehidupan bagi umat muslim karena hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah ada, Mudharat harus dihilangkan dan kita tidak boleh berhubungan dengan sebuah kerusakan atau kemudharatan,” ujar Helmi.
Kaidah juga dapat dijelaskan bahwa seseorang tidak dibolehkan untuk melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri dan orang lain baik secara fisik, kehormatan dan harta. Sebagaimana juga tidak dibolehkan membalas kerusakan dengan kerusakan dengan kerusakan yang sama, artinya tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya.
“Seandainya ada sesuatu yang dapat membahayakan orang lain maka sebisa mungkin harus kita cegah, sebab kerusakan itu harus disingkirkan atau dihapus dari kehidupan umat manusia, Apabila timbulnya bahaya itu karena alasan syar’i maka tidaklah dilarang seperti mudharat akibat penegakan hukum pidana (qishash,hudud, ta’zir dll),”ungkapnya.
Adapun contoh kaidah seperti hal nya tidak diperbolehkan bagi seseorang membangun tembok rumah jika tembok tersebut akan menghalangi akses keluar masuk ke rumah tetangga. Apabila seseorang membeli barang yang cepat rusak, sementara pembelinya pergi dan menghilang sebelum dibayar dan sebelum barang diambilnya, maka boleh bagi penjual tersebut untuk menjualnya kembali kepada orang lain untuk menghindarkan kerusakan dan kerugian. Boleh pemerintah hukum dan sanksi kepada orang kaya yang tidak memberikan nafkah bagi anak dan keluarganya.
“Bagi pemerintahan di masa Rasulullah bisa memberikan sanksi bagi ayah yang tidak memberikan nafkah maka rasulullah menyampaikan bahwa ambil yang dibutuhkan dan secukupnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tetapi jika sudah cukup seorang istri harus izin kepada suami,”katanya
Helmi juga menyampaikan bahwa contoh dari ad Dharar yaitu jika seseorang ditipu dalam sebuah perniagaan yang dibayar dengan uang palsu maka ia tidak diperbolehkan untuk menggunakan uang palsu itu untuk berbelanja. Jika seseorang hartanya dicuri maka tidak boleh pula orang tersebut mencuri uang untuk mendapatkan gantinya. Dan pemilik rumah membalas dengan kerusakan yang sama maka keduanya akan dikenakan ganti rugi. Contoh tersebut menjadi larangan yang sudah seharusnya kita jauhi agar nantinya umat muslim bisa mendapatkan syariat yang diturunkan untuk kemaslahatan bersama.(dh/kh/hms).