Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengabulkan sejumlah gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 atau Undang-Undang Cipta Kerja. Sebanyak 21 pasal yang diajukan dengan 12 poin utama digugat oleh Partai Buruh bersama beberapa serikat pekerja, di antaranya Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), serta dua buruh perorangan.
Dilansir dari kompas.com, revisi UU Cipta Kerja yang disahkan MK pada 31 Oktober 2024 mencakup beberapa poin penting. Beberapa di antaranya adalah pemisahan UU Ketenagakerjaan, prioritas tenaga kerja lokal dibanding tenaga kerja asing (TKA), penegasan durasi kontrak kerja, pembatasan sistem outsourcing, penerapan hari libur pekerja antara dua hingga tujuh hari, serta ketentuan upah yang harus mencakup komponen hidup layak. Revisi ini juga menghidupkan kembali Dewan Pengupahan, memberlakukan skala upah proporsional, mengaktifkan kembali upah minimum sektoral, dan menetapkan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) hanya dapat dilakukan melalui putusan hukum yang berkekuatan tetap (inkrah).
Dosen Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Lidia Febrianti, S.H., M.H., menilai revisi ini sebagai upaya menemukan keseimbangan antara semangat investasi dan perlindungan pekerja. “Investasi boleh, tetapi harus ada keseimbangan dengan perlindungan pekerja. Perlindungan hak asasi manusia tidak boleh diabaikan,” ujarnya.
Lidia menjelaskan bahwa salah satu poin paling krusial dalam revisi ini adalah aspek pengupahan. Penambahan tiga komponen utama, yaitu Komponen Hidup Layak (KHL), Dewan Pengupahan, dan Upah Minimum Sektoral (UMS), menjadi perhatian utama. Dalam aturan terbaru, penghitungan upah minimum melibatkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Penetapan dilakukan oleh kepala daerah hingga tingkat kabupaten/kota atas rekomendasi Dewan Pengupahan.
“Penghitungan upah minimum harus menggambarkan KHL yang mencakup kelayakan hidup buruh. Dewan Pengupahan, sebagai lembaga non-struktural yang melibatkan pemerintah, serikat pekerja, dan pengusaha, kini dihidupkan kembali dengan fungsi yang diperkuat,” jelasnya.
Ia juga menyebut bahwa regulasi TKA dalam revisi ini memberikan peluang lebih besar bagi tenaga kerja Indonesia (TKI) untuk mendapat akses kerja di dalam negeri. Hal ini dapat terwujud jika implementasi keputusan MK dilakukan dengan benar oleh pihak terkait.
Meski sejumlah gugatan telah dikabulkan, masih terdapat aspek dalam UU Cipta Kerja yang dinilai belum sepenuhnya memenuhi harapan pekerja. Kritik utama terhadap UU ini adalah kurangnya pengawasan dan penegakan hukum di lapangan. Tanpa mekanisme pengawasan yang kokoh, aturan-aturan baru hanya akan menjadi dokumen tanpa dampak nyata bagi pekerja.
Lidia menambahkan bahwa masa depan ketenagakerjaan Indonesia sangat bergantung pada kemampuan pemerintah dalam menyusun regulasi yang adil dan adaptif terhadap perkembangan zaman. “Indonesia harus mampu menyediakan kerangka hukum ketenagakerjaan yang fleksibel namun tetap melindungi hak dasar pekerja, terutama di tengah perkembangan teknologi dan dinamika pasar tenaga kerja global,” pungkasnya.(kh/hms)
Sumber Gambar : detikjatim.detik.com